Minggu, 05 Juli 2009

Panwaslu Bagaikan “Anak Haram”

Panwaslu Bagaikan “Anak Haram”



Catatan : Maizen Saftana SH

Kabag Humas Panwaslu Provinsi Sumatera Utara



Tanpa terasa setahun sudah usia keberadaan Panitia Pengawasan Pemilu (Panwaslu) Provinsi Sumatera Utara dan sebuah tugas berat mengawal perjalanan pesta demokrasi Pemilihan Umum Legislatif baru saja selesai dilaksanakan. Seiring dengan perjalanan waktu itu pula, tentunya beragam peristiwa, kesan dan fakta yang terjadi.

Sebagai saksi sejarah perjalanan demokrasi di negeri republik indonesia tercinta ini, tentunya tidak sedikit yang menilai plus minusnya kinerja Panwaslu. Diantara seribuan orang yang menilai baik dan tentunya mungkin seribuan orang pula yang menilai buruk kinerja Panwaslu dalam menjalankan tugas-tugas pengawasan pelaksanaan Pemilu legislatif kemarin.

Namun dibalik penilaian baik dan buruk kinerja yang telah dijalankan Panwaslu, kiranya mungkin hanya sebagian kecil yang mengetahui betapa berat tugas dan tanggung jawab yang harus dipikul diantara keterbatasan kewenangan yang diberikan, seperti halnya soal keterbatasan personil dan anggaran.

Sehingga tidak berlebihan bila sejumlah anggota Panwaslu Provinsi dan Kabupaten/Kota berpendapat dalam setiap kesempatan formal baik itu tertutup dan terbuka, bahwa keberadaan Panwaslu bagaikan seorang bayi yang tidak diinginkan kelahirannya atau dengan kata lain diumpamakan bagaikan “anak haram”.

Pendapat tersebut bukanlah sebuah bentuk tendensius atau afatis, tapi sebuah ungkapan dari fakta dan kenyataan yang berdasar, serta bukan sebuah isapan jempol belaka terhadap apa yang dialami ketika menjalani tugas, tangung jawab dan kewenangannya.

Apa yang akan saya ungkapkan dalam tulisan ini tidak lebih sebuah catatan seorang jurnalis yang dipercayakan sebagai Kabag Humas Panwaslu Provinsi Sumatera Utara.

Pendapat bahwa keberadaan Panwaslu bagaikan seorang bayi yang tidak diinginkan kelahirannya tentu bukanlah tidak beralasan. Sebut saja soal keterbatasan tenaga Petugas Pengawas Lapangan (PPL) yang oleh peraturan Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Undang-Undang Pemilihan Umum Nomor 10 Tahun 2009 dan Undang-Undang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Nomor 42 Tahun 2008 hanya dibatasi satu PPL untuk tingkat Kelurahan. Pada hal idealnya jumlah PPL harus sebanding dengan jumlah TPS yang dibentuk.

Fakta jumlah PPL itu sangat tidak rasional dengan tugas dan tangung jawab yang diembankan kepada Panwaslu. Sehingga sangat tidak memungkinkan bila satu PPL ditingkat Kelurahan harus melakukan pengawasan pada saat bersamaan di 20 bahkan sampai 40 TPS untuk setiap satu Kelurahan.

Kondisi itu sangat berbanding terbalik dengan tugas dan tangung jawab yang diembankan kepada Panwaslu. Begitu pula dengan kewenangan yang diberikan, Ketua Panwaslu Provinsi Sumatera Utara Ikhwaluddin Simatupang SH Mhum selalu mengumpamakan bahwa kewenangan Panwaslu tak lebih diibaratkan bagaikan hakim garis dalam sebuah pertandingan sepak bola. Sedangkan wasitnya tetap saja KPU yang berhak menentukan, apakah tanda bendera peringatan yang disampaikan Panwaslu sebuah bentuk pelanggaran atau tidak.

Seperti halnya persoalan pemungutan ulang pemilu legislatif di Kabupaten Nias Selatan (Nisel) sebagaimana telah menjadi keputusan Mahkamah Konstitusi (MK). Persoalan yang kini menjadi pusat perhatian partai politik dan peserta pemilu di indonesia itu. Sejatinya jauh-jauh hari telah disampaikan Panwaslu sebagai daerah rawan konflik pemilu, namun tetap saja KPU tidak mengabaikan peringatan tersebut.

Dalam pelaksanaan pemilu legislatif kemarin Panwaslu mencatat sedikitnya kurang lebih 108 pelanggaran baik itu bentuk pelanggran administrasi dan pidana pemilu dan hanya berkisaran 10% saja yang ditindak lanjuti atau sampai ke meja hijau, sedangkan bentuk pelanggaran administrasi tidak jelas penyelesaiannya setelah temuan dan laporan tersebut disampaikan ke KPU.

Adapun bentuk pelanggaran tersebut, baik itu mulai dari tahapan kampanye, keterlambatan parpol peserta pemilu melaporkan rekening awal kampanye, petugas Panitia Penyelenggara Pemilu Kecamatan (PPK) yang tidak memberikan salinan formulir C1 dan mengumumkan hasil perhitungan suara sebagaimana yang diamanatkan Undang-undang Nomor 10 Tahun 2009.

Selain itu Panwaslu juga dihadapi dengan batasan pengawasan yang telah diatur oleh Undang-undang Nomor 10 Tahun 2009, bahwa Panwaslu diberikan waktu tiga hari ditambah dua hari untuk memproses bentuk-bentuk pelanggaran pidana pemilu, sehingga tidak jarang temuan atau laporan pelanggaran harus kandas hanya sampai pembahasan di meja Gerakan Hukum Terpadu (Gakkumdu) yang terdiri dari Kepolisian, Kejaksaan dan Panwaslu.

Ironis benar antara tugas, tangung jawab dan kewenangan Panwaslu, disisi lain Panwaslu dituntut untuk melakukan pengawasan jalannya pemilu, sementara itu disisi lain kewenangannya dibatasi dan “terkesan” telah tersistim matis melalui undang-undang yang merupakan produk dari wakil partai politik yang duduk dilegislatif.

Tidaklah berlebihan bila ungkapan sejumlah anggota Panwaslu Provinsi dan Kabupaten/Kota bahwa keberadaan Panwaslu bagaikan seorang bayi yang tidak dinginkan kelahirannya, karena selain dibatasi dalam menjalani tugas, tangung jawab dan kewenangannya, ternyata dalam hal pembiayaan juga sangat terbatas,bahkan untuk tugas dan tangung jawab seorang PPL yang begitu besar honor yang diterimanya dalam jumlah yang sangat memprihatinkan jauh dibawah honor seorang buruh pabrik.

Fakta lain ungkapan tidak diinginkannya keberadaan Panwaslu yakni, tentunya masih segar dalam ingatan jajaran Pemprovsu insiden “pengusiran” Ketua Panwaslu Provinsi Sumatera Utara Ikhwaluddin Simatupang yang melibatkan salah seorang staf protokoler Gubernur Sumatera Utara ketika akan berlangsung rapat koordinasi sejajaran Muspida di aula pertemuan Gubernur lantai 10 beberapa waktu lalu. Dimana pada saat Ketua Panwaslu akan memasuki ruangan oleh protokoler, Ketua Panwaslu diarahkan ke ruangan pertemuan yang lain. Pada hal pada saat insiden itu saudara Ikhwaluddin telah memperkenalkan jati dirinya dengan mengatakan berasal dari lembaga Panwaslu yang diundang dalam rapat koordinasi tersebut. Namun oknum yang bersangkutan tetap saja mengarahkan untuk tidak masuk ke dalam ruangan pertemuan yang dimaksud.

“Ini merupakan bentuk penghinaan terhadap lembaga Panwaslu”, ungkap Ikhwaluddin kepada Kabag Infokom Pemrovsu dalam sebuah pembicaraan melalui telepon seluler beberapa saat setelah insiden berlangsung. Dimana sipenelepon meminta agar Ikhwaluddin bersedia kembali menghadiri rapat koordinasi tersebut.

Peristiwa diatas tentunya belum dapat dikatakan sebagai bentuk penolak atau tidak mengakui keberadaan Lembaga Panwaslu yang merupakan bahagian dari instrumen sebagai lembaga penyelenggara pemilu. Namun sangat disayangkan akibatnya dapat melahirkan beragam asumsi ditengah masyarakat dari apa yang terjadi dalam peristiwa insiden tersebut.

Meski demikian dari beragam fakta yang dihadapi tidaklah mengendorkan semangat anggota Panwaslu dalam menjalankan tugas-tugas pengawasannya. Dan untuk itu telah dibayar mahal dengan diberhetikannya tiga anggota Panwaslu Kecamatan Kota Medan dan beberapa Panwas Kabupaten/Kota yang mendapat peringatan keras karena dinilai tidak menjalankan tugas-tugasnya dengan baik dan benar.

Sebab bila Panwaslu tidak menjalankan tugas, tanggung jawab dan kewenangannya dengan baik dan benar, maka bukan tidak mungkin lembaga Panwaslu akan dihapuskan dalam pelaksanaan pemilu mendatang dan hal itu sebuah pertanda buruk mundurnya kembali perjalanan demokrasi di negeri republik indonesia tercinta ini.