Jumat, 20 Maret 2009

7 Kabupaten/Kota Terindikasi Rawan Konflik

Siaran Pers Panwaslu Provinsi Sumatera Utara

Panwaslu : 7 Kabupaten/Kota Terindikasi Rawan Konflik

Medan ( )

Panita Pengawasan Pemilu (Panwaslu) Provinsi Sumatera Utara mempetakan sedikitnya tujuh Kabupaten/Kota antara lain, Tapteng, Madina, Asahan, Nias, Tanjung Balai, Labuhan Batu dan Binjai terindikasi merupakan titik rawan terjadinya konflik dalam pelaksanaan Pemilihan umum (Pemilu) dan Pemilihan Preseiden (Pilpres).
Hal itu dikatakan Ketua Panwaslu Provinsi Sumatera Utara, Ikhwaluddin Simatupang SH Mhum didampingi Kabag Humas Maizen Saftana SH kepada sejumlah media massa di sekretariat Panwaslu Jalan Kartini No. 26 Medan, Selasa (17/3).
Pesta demokrasi baru saja dimulai, kini hampir seluruh pesrta pemilu baik itu Parpol dan caleg disibukan berkampanye, namun disisi lain Panwaslu mengindikasikan terdapat beberapa Kabupaten/Kota merupakan titik rawan terjadinya konflik, antara lain, Tapteng, Madina, Asahan, Nias, Tanjung Balai, Labuhan Batu dan Binjai.
Alasannya kata Ikhwaluddin, sejumlah daerah tersebut kepala daerahnya dikatehui merupakan pimpinan salah satu Parpol yang merupakan indikatornya, sehingga sangat dipertanyakan netralitasnya.
“ Sudah bukan menjadi rahasia umum lagi nuansa kepentingan kepala daerah sangat kental untuk memenangkan partai politik yang dipimpinannya”, ujar Ikhwaluddin.
Sebut Ikhwaluddin seperti halnya yang terjadi di Tapteng, sebagaimana pemberitaan salah satu media massa memberitakan bahwa salah satu Parpol mengecat bangunan milik pemerintah seperti sekolah SD, SMP dan SMA, perkantoran dan jembatan sesuai warna salah satu Perpol. Dan ironisnya lagi pembiayaannya memakai dana APBD.
Belajar dari sejarah birokrasi di Indonesia menunjukkan, PNS selalu merupakan obyek politik dari kekuatan Parpol dan aktor politik. Jumlahnya yang signifikan dan fungsinya yang strategis dalam menggerakkan anggaran keuangan negara selalu menjadi incaran tiap parpol untuk menguasai dan memanfaatkan PNS dalam aktivitas politik
. Bagi parpol, keterlibatan PNS akan amat membantu dan mempermudah pelaksanaan kampanye yang sering terjadi melalui pemanfaatan fasilitas negara (mobil, gedung, dan kewenangan) secara diskriminatif, yang menguntungkan salah satu parpol. Selain itu, di pelosok pedesaan yang mayoritas penduduknya tidak terdidik, figur dan pilihan PNS akan menjadi referensi bagi pilihan masyarakat.
Pertukaran ekonomi politik antara partai/aktor politik (caleg) dan PNS dalam Pemilu tidak saja menguntungkan sisi politik dan kabarnya juga bagi PNS sendiri.
Dijelaskan Ikhwaluddin, sebenaranya UU No 43/1999 pasal 3 cukup jelas mengatur netralitas PNS dimana disebutkan Pegawai negeri berkedudukan sebagai unsur aparatur negara yang bertugas untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat secara profesional, jujur, adil, dan merata dalam penyelenggaraan tugas negara, pemerintahan, dan pembangunan; selanjutnya Dalam kedudukan dan tugas sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1), pegawai negeri harus netral dari pengaruh semua golongan dan partai politik serta tidak diskriminatif dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat.
Namun sangat disayangkan seakan sudah bukan menjadi rahasia umum lagi dalam praktiknya kerap terjadi beberapa penggaran yang dilakukan PNS dan pejabat pemerintahan dalam pemilu. Pertama, penyalahgunaan kewenangan yang dimiliki, antara lain menerbitkan aturan yang mewajibkan kampanye kepada bawahan, pengumpulan dana bagi parpol tertentu, pemberian izin usaha disertai tuntutan dukungan kepada parpol/caleg tertentu, penggunaan bantuan pemerintah untuk kampanye, mengubah biaya perjalanan dinas, dan memaksa bawahan membiayai kampanye parpol/caleg dar ianggaran negara.
Kedua, penggunaan fasilitas negara secara langsung, misalnya penggunaan kendaraan dinas, rumah dinas, serta kantor pemerintah dan kelengkapannya
.Ketiga, pemberian dukungan lain, seperti bantuan sumbangan, kampanye terselubung, memasang atribut parpol/caleg di kantor, memakai atribut parpol/caleg, menghadiri kegiatan kampanye dengan menggunakan pakaian dinas dan kelengkapannya, serta pembiaran atas pelanggaran kampanye dengan menggunakan fasilitas negara dan perlakuan tidak adil/diskriminatif atas penggunaan fasilitas negara kepada parpol/caleg.
Larangan penggunaan fasilitas pemerintah ini juga diatur dalam Pasal 84 Ayat 1 Huruf h Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD serta Pasal 41 Ayat 1 Huruf h Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilu, beber Ikhwaluddin.
Masih menurut Ikhwaluddin, berdasarkan pemikiran diatas Panwaslu Provisnisi Sumatera Utara telah menyurati Panwas Kabupaten Tapanuli Tengah untuk menginventarisir dugaan pelanggaran yang diindikasikan dilakukan pejabat kepala daerahnya, juga bagi Panwas Kabupaten/Kota secara keseluruhan, jelasnya mengakhiri. (rel)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar